Judul: Impian Hebat, Kisah Sukses Meraih Beasiswa
Penerbit: Penerbit Matapena
Editor:Lianni Qanita
Penata isi: Imam Adolide
Tahun Terbit: Cet I, November, 2012
Tebal Halaman: xii + 184 halaman
ISBN: 979- 25-5384-3
Peresensi; Noor Aflah
Buku yang diterbitkan oleh Penerbit Matapena yang berkerja sama dengan Kementerian Agama (Kemenag) RI ini memuat berbagai kisah nyata perjalanan para santri dalam berkhidmat dan membangun impian mereka sejak di pesantren hingga bisa berkuliah lantaran mendapatkan beasiswa dari Kemenag RI melalui Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB). PBSB merupakan sebuah beasiswa yang ditujukan bagi santri yang memiliki kemampuan akademik, kematangan pribadi, kemampuan penalaran, dan potensi untuk mengikuti program pendidikan perguruan tinggi.
Program beasiswa ini dicetuskan karena adanya fakta yang menunjukkan bahwa untuk bisa masuk ke perguruan tinggi bagi kaum santri “berprestasi” yang sulit. Apalagi untuk bisa lewat jalur beasiswa. Dari situlah, maka Kemenag RI melalui Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Ditjen Pendidikan Islam berinisiatif dengan mengupayakan sebuah program beasiswa bagi mereka, yakni dengan program PBSB. (hal. vii).
Ada dua puluh lima cerita yang ditulis dalam buku ini. Kesemuanya sungguh inspiratif. Satu cerita dengan cerita lainnya mempunyai keunikan sendiri-sendiri. Kita ambil contoh saja, Ufiq Faisol Ahlif, seorang santri dari Pesantern AT-Thullah TBS Kudus.
Sejak menitih studi di MA atau setara dengan SMA, ia selalu diliputi persaan galau antara terus untuk mondok atau “ngampus” di perguruan tinggi. Baginya –sebelum masuk PBSB-, kuliah hanya akan berorientasi pada kehidupan duniawi saja, dan tidak ada lagi ilmu-ilmu agama yang menghiasi hari-hari perkuliahan. Maka dari situ, saat itu ia memilih untuk melanjtukan ke pesantren. Selain itu, juga ada satu syarat lagi yang harus Ufiq patuhi ketika ia ingin kuliah. Yakni sang orang tua yang tak mau membiayai kuliahnya (hal. 113).
Sejak saat itu, setelah selesai sekolah maupun pada jam-jam kosong, Ufiq selalu menyempatkan diri pergi ke warnet untuk mencari informasi tentang pesantren dan beasiswa untuk kuliah. Karena untuk pesantren telah di pasrahkan ke orang tuanya, maka ia lebih fokus untuk mencari informasi beasiswa di perguruan tinggi-perguruan tinggi (hal. 114).
Tak terasa 2 tahun telah terlewati. Masa studi Ufiq di MA pun tengah memasuki akhir tahun. Teka-teki masa depan kehidupannya mulai menemui titik terang. Ada kabar bahwa tiga orang kakak kelasnya masuk dalam seleksi beasiswa PBSB. Ia pun tertarik untuk mengikuti jejak mereka.
Pada bulan Februari 2010, guru bahasa Inggris sekaligus wakil kepala sekolah bidang Humas dan Sarpras mengumumkan: “Pendaftaran beasiswa Pekapontren 2010 telah dibuka, bagi siswa yang ingin mengikutinya silahkan menghubungi Pak Qomari dan segera melengkapi persyaratan administrasinya”. Mendengar pengumuman itu, Ufiq pun menghela nafas dan berujar: “inilah jalan saya” (hal. 115).
Ada 13 orang tercatat yang telah mendaftar, sehingga guru yang bertugas harus lembur mengumpulkan persyaratan yang harus dipenuhi mengingat waktu tak seleksi tak lama lagi. Tak pelak, Ufiq dan 13 tahun pun harus ikut lembur membantu menyiapkan persyaratan-persyaratan tersebut.
Singkat cerita, tibalah waktu seleksi. Ufiq bersama 13 orang temannya pergi ke Semarang (tempat seleksi regional tengah). Tes seleksi dilakukan seharian penuh. Tak ada waktu buat peserta untuk merilekskan diri apalagi untuk belajar. Lelah tiada tara nampak jelas diraut muka seluruh peserta. Tak terkecuali Ufiq. Dalam kondisi seperti itu Ufiq hanya bisa pasrah dan semoga diberikan yang terbaik (hal. 117).
Jam 17.00 WIB lebih tes seleksi baru selesai. Pulanglah Ufiq dan 13 temannya ke Kudus dengan diringi rasa capek yang tak terhingga. Namun semua itu tak sia-sia. Akhirnya semua usahanya berbuah manis. Seminggu sebelum hari pengumuman hasil seleksi, ia mendapatkan SMS dari teman yang isinya: “selamat kepada Ufiq faisol ahlif yang diterima beasiswa PBSB di UPI Bandung”. Tak bisa dibayangkan betapa bahagianya Ufiq pada saat itu.
Begitulah kira-kira kisah para santri menggapai mimpi yang tertuang dalam buku ini. Lain halnya dengan Ufiq, Isma Noor Fitria –santrwati asal Banjarbaru, Kalsel- yang harus bekerja ekstra keras dalam MQK (Musabaqah Qira’at al-Kutub) di pesantrennya hanya untuk bisa mendapatkan beasiswa ini (hal. 65).
Begitu juga dengan Hamas seorang santri generasi pertama di kota Padang yang lolos seleksi di tingkat Sumatra Barat untuk maju ke level nasional dalam Olimpiade Sains Nasional. Walaupun akhirnya tidak lolos namun terus optimis dan membangun impian barunya. Dan akhirnya diterimalah ia kuliah di ITB jurusan Teknologi Industri melalui program beasiswa ini (ha. 79). Begitu inspiratif.
Kisah-kisah yang ditulis langsung oleh para penerima beasiswa PBSB dalam buku ini bak sebuah gambaran riil karakteristik santri dengan segala pahit getir perjuangannya menggapai cita. Dengan bahasa yang renyah, buku ini rasanya telah membuktikan bahwa santri pun juga bisa dan mampu bersaing dengan pelajar lainnya dalam menempuh studi di perguruan tinggi.
Santri pun bisa menulis. Santri pun punya impian hebat. Santri pun bisa sukses. Selamat membaca!
* Peresensi adalah mahasiswa Penerima Beasiswa PBSB di IAIN Walisongo Semarang
Penerbit: Penerbit Matapena
Editor:Lianni Qanita
Penata isi: Imam Adolide
Tahun Terbit: Cet I, November, 2012
Tebal Halaman: xii + 184 halaman
ISBN: 979- 25-5384-3
Peresensi; Noor Aflah
Buku yang diterbitkan oleh Penerbit Matapena yang berkerja sama dengan Kementerian Agama (Kemenag) RI ini memuat berbagai kisah nyata perjalanan para santri dalam berkhidmat dan membangun impian mereka sejak di pesantren hingga bisa berkuliah lantaran mendapatkan beasiswa dari Kemenag RI melalui Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB). PBSB merupakan sebuah beasiswa yang ditujukan bagi santri yang memiliki kemampuan akademik, kematangan pribadi, kemampuan penalaran, dan potensi untuk mengikuti program pendidikan perguruan tinggi.
Program beasiswa ini dicetuskan karena adanya fakta yang menunjukkan bahwa untuk bisa masuk ke perguruan tinggi bagi kaum santri “berprestasi” yang sulit. Apalagi untuk bisa lewat jalur beasiswa. Dari situlah, maka Kemenag RI melalui Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Ditjen Pendidikan Islam berinisiatif dengan mengupayakan sebuah program beasiswa bagi mereka, yakni dengan program PBSB. (hal. vii).
Ada dua puluh lima cerita yang ditulis dalam buku ini. Kesemuanya sungguh inspiratif. Satu cerita dengan cerita lainnya mempunyai keunikan sendiri-sendiri. Kita ambil contoh saja, Ufiq Faisol Ahlif, seorang santri dari Pesantern AT-Thullah TBS Kudus.
Sejak menitih studi di MA atau setara dengan SMA, ia selalu diliputi persaan galau antara terus untuk mondok atau “ngampus” di perguruan tinggi. Baginya –sebelum masuk PBSB-, kuliah hanya akan berorientasi pada kehidupan duniawi saja, dan tidak ada lagi ilmu-ilmu agama yang menghiasi hari-hari perkuliahan. Maka dari situ, saat itu ia memilih untuk melanjtukan ke pesantren. Selain itu, juga ada satu syarat lagi yang harus Ufiq patuhi ketika ia ingin kuliah. Yakni sang orang tua yang tak mau membiayai kuliahnya (hal. 113).
Sejak saat itu, setelah selesai sekolah maupun pada jam-jam kosong, Ufiq selalu menyempatkan diri pergi ke warnet untuk mencari informasi tentang pesantren dan beasiswa untuk kuliah. Karena untuk pesantren telah di pasrahkan ke orang tuanya, maka ia lebih fokus untuk mencari informasi beasiswa di perguruan tinggi-perguruan tinggi (hal. 114).
Tak terasa 2 tahun telah terlewati. Masa studi Ufiq di MA pun tengah memasuki akhir tahun. Teka-teki masa depan kehidupannya mulai menemui titik terang. Ada kabar bahwa tiga orang kakak kelasnya masuk dalam seleksi beasiswa PBSB. Ia pun tertarik untuk mengikuti jejak mereka.
Pada bulan Februari 2010, guru bahasa Inggris sekaligus wakil kepala sekolah bidang Humas dan Sarpras mengumumkan: “Pendaftaran beasiswa Pekapontren 2010 telah dibuka, bagi siswa yang ingin mengikutinya silahkan menghubungi Pak Qomari dan segera melengkapi persyaratan administrasinya”. Mendengar pengumuman itu, Ufiq pun menghela nafas dan berujar: “inilah jalan saya” (hal. 115).
Ada 13 orang tercatat yang telah mendaftar, sehingga guru yang bertugas harus lembur mengumpulkan persyaratan yang harus dipenuhi mengingat waktu tak seleksi tak lama lagi. Tak pelak, Ufiq dan 13 tahun pun harus ikut lembur membantu menyiapkan persyaratan-persyaratan tersebut.
Singkat cerita, tibalah waktu seleksi. Ufiq bersama 13 orang temannya pergi ke Semarang (tempat seleksi regional tengah). Tes seleksi dilakukan seharian penuh. Tak ada waktu buat peserta untuk merilekskan diri apalagi untuk belajar. Lelah tiada tara nampak jelas diraut muka seluruh peserta. Tak terkecuali Ufiq. Dalam kondisi seperti itu Ufiq hanya bisa pasrah dan semoga diberikan yang terbaik (hal. 117).
Jam 17.00 WIB lebih tes seleksi baru selesai. Pulanglah Ufiq dan 13 temannya ke Kudus dengan diringi rasa capek yang tak terhingga. Namun semua itu tak sia-sia. Akhirnya semua usahanya berbuah manis. Seminggu sebelum hari pengumuman hasil seleksi, ia mendapatkan SMS dari teman yang isinya: “selamat kepada Ufiq faisol ahlif yang diterima beasiswa PBSB di UPI Bandung”. Tak bisa dibayangkan betapa bahagianya Ufiq pada saat itu.
Begitulah kira-kira kisah para santri menggapai mimpi yang tertuang dalam buku ini. Lain halnya dengan Ufiq, Isma Noor Fitria –santrwati asal Banjarbaru, Kalsel- yang harus bekerja ekstra keras dalam MQK (Musabaqah Qira’at al-Kutub) di pesantrennya hanya untuk bisa mendapatkan beasiswa ini (hal. 65).
Begitu juga dengan Hamas seorang santri generasi pertama di kota Padang yang lolos seleksi di tingkat Sumatra Barat untuk maju ke level nasional dalam Olimpiade Sains Nasional. Walaupun akhirnya tidak lolos namun terus optimis dan membangun impian barunya. Dan akhirnya diterimalah ia kuliah di ITB jurusan Teknologi Industri melalui program beasiswa ini (ha. 79). Begitu inspiratif.
Kisah-kisah yang ditulis langsung oleh para penerima beasiswa PBSB dalam buku ini bak sebuah gambaran riil karakteristik santri dengan segala pahit getir perjuangannya menggapai cita. Dengan bahasa yang renyah, buku ini rasanya telah membuktikan bahwa santri pun juga bisa dan mampu bersaing dengan pelajar lainnya dalam menempuh studi di perguruan tinggi.
Santri pun bisa menulis. Santri pun punya impian hebat. Santri pun bisa sukses. Selamat membaca!
* Peresensi adalah mahasiswa Penerima Beasiswa PBSB di IAIN Walisongo Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar