Selasa, 04 Oktober 2016

toko buku islam online balikpapan pindah ke pustakaalmaarif.com

PUSTAKA AL-MA’ARIF adalah situs yang menyediakan buku-buku keislaman, kitab kuning, dan beberapa produk muslim lainnya yang berlokasi di Kota Balikpapan.

Pustaka Al-Maarif Balikpapan menerima pemesanan (order) untuk keperluan pesantren, majelis taklim, madrasah dan lainnya. Lihat informasinya di situs www.pustakaalmaarif.com

Sabtu, 07 September 2013

Tahlil Bid'ah Hasanah Berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah

Membicarakan tahlil sama saja membicarakan ketidaksepahaman antara orang NU dan orang-orang yang tidak setuju dengan acara tahlilan. Ada sebagian orang menganggap acara tahlilan itu sesat dan bahkan haram menurut mereka. Tentu mereka memiliki alasan tersendiri menurut apa yang mereka pelajari dan mereka pahami dalam persoalan agama dan tradisi. Tanpa dalil tentu mereka tidak akan berani mengharamkan bahkan mengkafirkan pelakunya (Nahdliyyin) sebagai subjek dari acara tahlilan itu.

Kelompok yang anti tahlil kerap menuduh tahlil sebagai bid’ah karena sebagai warisan tradisi agama pra-Islam di Jawa, yaitu Budha dan Hindu, sehingga praktek tahlil hukumnya haram dilakukan karena menyerupai dengan tradisi agama lain. Tuduhan ini dilakukan sebagaimana ketika mereka mengharamkan perayaan maulid nabi Muhammad Saw. karena menyerupai perayaan kelahiran dalam agama lain, yaitu perayaan Natal (Kristen) (Hal. 15).

Pandangan yang serba membuat kesamaan antara tradisi Islam dengan tradisi non-Islam ini beranggapan jika bukan orang Islam yang melakukan pertama kali, berarti itu bid’ah sesat, haram, bahkan kafir jika dilakukan oleh orang Islam. Perlu juga diingat bahwa budaya sarungan itu bukan budaya Islam. Pada masa nabi Muhammad Sawa. tidak ada. Budaya sarungan umat Islam yang cuma di Indonesia. Itu pun juga berangkat dari budaya agama Hindu yang ada di Indonesia. Anggap saja orang Madura yang kentara dengan budaya sarungnya, dan lihat agama nenek moyang orang Madura sebelum Islam datang, tak lain mayoritas menganut Hindu.

Begitu pula dengan budaya celana yang sudah banyak digandrungi oleh masyarakat Indonesia. Tempo dulu budaya memakai celana di kalangan Islam Indonesia haram. Hal tersebut dengan suatu dalil dan alasan bahwa orang yang menyerupai suatu, maka mereka merupakan bagian dari mereka. Karena dianggap menyerupai dengan orang Belanda atau Jepang yang beragama non-Islam, maka memakai celana diharamkan. Itu semua merupakan buah dari fanatisme dalam beragama yang mengekang dan mempersulit hidupnya sendiri. Baru ketika mereka sadar bahwa memakai celan itu penting, pengharaman lambat laun menyusut dan rata-rata kiai memakai celana.

Diakui atau tidak, latar belakang tahlil itu memang awalnya merupakan budaya masyarakat Indonesia yang beragama non-Islam sebelum Islam masuk ke Nusantara ini. Namun karena di satu sisi nabi Muhammad Saw. khususnya Islam sendiri yang memiliki sifat menghargai (toleran), maka ekspansi Islam tidak dengan cara merusak dan meniadakan apa yang telah menjadi tradisi masyarakat non-Islam sebelumnya (Hal.10). Namun, upaya ekspansi Islam ini dengan fleksibelitasnya mampu mengislamkan orang Nusantara ini dengan mudah dan tanpa kekerasan apapun. Tentunya kelenturan dan cara beradaptasi baik yang dijadikan senjata ampuh oleh penyebar Islam tempo dulu.

Secara historis, keberadaan tahlil adalah salah satu wujud keberhasilan islamisasi terhadap tradisi-tradisi masyarakat Indonesia pr-Islam. Tradisi masyarakat Indonesia ketika ada orang meninggal dunia adalah berkumpul di rumah duka pada malam hari untuk berjudi, mabuk-mabukan dan sebagainya. Lambat laun seiring dengan Islam yang mulai menyentuh mereka, acara tersebut diisi dengan nilai-nilai keislaman yang dapat mendatangkan manfaat kepada orang yang meninggal dunia, keluarga duka, serta masyarakat secara umum. Dari sini kemudian tradisi tahlilan berkembang luas di tengah masyarakat seperti yang diamalkan oleh masyarakat saat ini (Hal. v).

Tradisi kumpul-kumpul yang dilakukan oleh masyarakat non-Islam dulu itu tidak dirusak dan tidak disuruh bubar begitu saja oleh penyebar agama Islam dahulu. Jika sebaliknya yang terjadi, maka entah seperti apa lagi Islam di mata masyarakat non-Islam dahulu hingga sekarang. Maka dari itu, masyarakat non-Islam yang berkumpul ketika ada acara kematian itu diubah melalui pendekatan pengaplikasian dengan nilai-nilai keislaman sebagai dakwah yang paling jitu dan tidak harus merusak yang sudah ada. Hingga akhirnya acara itu bernilai sebagaimana yang diamanatkan oleh syariat Islam.

Buku Tahlil Bid’ah Hasanah ini tak lain merupakan rasionalisasi dan penalaran dengan menggunakan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan al-Hadits mengenai acara tahlilan yang sering diharamkan oleh kalangan non-Nahdliyyin. Pemantapan pemahaman mengenai tradisi, kedamaian, dan eksistensi Islam itu sendiri disuguhi dengan beraneka dalil yang cukup jelas. Bagi mereka yang mengerti metode penyebaran Islam, silakan melihat sejarah tentang penyebaran Islam dan bagaimana Islam ketika itu. Tentunya dengan sifatnya yang fleksibel Islam mampu masuk ke Indonesia. Dengan fleksibelitasnya pula penyebaran Islam di Nusantara ini tidak harus banyak menumpahkan darah seperti.

Judul: Tahlil Bid'ah Hasanah Berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah
Penulis: Muhammad Ma’ruf Khozin
Penerbit: Muara Progresif
Cetakan: I, Juli 2013
Tebal: xviii + 190 hlm. 12 x 17.5 cm
ISBN: 978-602-17206-6-0
Peresensi: Junaidi Khab, santri Pesantren Al-in’am Pajagungan Banjar Timur Gapura Sumenep Madura.

Kamis, 27 Juni 2013

FIQH Kontemporer "Menjawab 111 Masalah"

Yang berminat, hub: 085735444053

FIQH Kontemporer "Menjawab 111 Masalah”, Rp. 90 .000 (Edisi Revisi, Hard Cover)

FIQH Kontemporer "Menjawab 111 Masalah" adalah buku karya Prof. Dr. H. Ahmad Zahro, MA, seorang Guru Besar Ilmu Fiqh IAIN Sunan Ampel Surabaya sekaligus Imam Besar Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya. Kiprahnya di bidang Ilmu Fiqh sudah tidak diragukan lagi, selain tercatat sebagai alumni Universitas Al-Azhar (Kairo, Mesir), hingga saat ini beliau aktif menjadi panelis dalam berbagai diskusi ilmiah keislaman serta mengasuh pengajian.

Buku ini disusun dengan pola tanya jawab, sebagai jawaban dari berbagai permasalahan terkini yang banyak ditanyakan oleh masyarakat dalam berbagai kesempatan diskusi dan pengajian Majlis Ta'lim di berbagai media, baik cetak maupun elektronik (Nurani, TV9, dll).

Buku ini berisi 111 pertanyaan dan uraian jawabannya, selain itu buku ini juga dilengkapi dengan suplemen pembahasan yang dikemas dalam 33 solusi islami. Buku setebal 542 halaman ini sangat cocok dijadikan rujukan intelektual muslim dan bekal dakwah ala ahlussunnah wal jama'ah.

Rabu, 01 Mei 2013

Menjawab Dakwah Kaum 'Salafi' (Wahhabi)

Menjawab Dakwah Kaum Salafi
Jawaban Ilmiah terhadap Pemahaman dan Cara Dakwah Kaum 'Salafi-Wahabi'

Oleh: Prof. Dr. Ali Jum'ah (Mufti Agung Mesir)

Penerbit: Khatulistiwa Press

Harga: Rp. 49.000,-

Umat Islam di seantero dunia beberapa dekade belakangan ini begitu gencar digelinding oleh gerakan dakwah yang cenderung bersifat ekstrem bahkan sangat meresahkan, tidak terkecuali di Indonesia.
'Aksi' takfir (pengafiran), tasyriik (pemusyrikan) maupun tabdii' (pembid'ahan) boleh dikatakan paham yang lagi 'ngentren' dewasa ini.

Fenomena ini nyatanya tidak hanya mengeroposi bingkai-bingkai ukhuwwah Islamiyah, namun telah sampai pada tataran merusak pondasi-pondasi agama yang telah menjadi konsensus bersama. Dan, kemajuan teknologi informasi makin mendorong meluasnya 'fatwa-fatwa' mereka laksana air terlepas dari salurannya. Kekacauan fatwa {faudha al-fataawa) pun tidak bisa terelakkan. Umat Islam pun kebingungan.

Buku "Menjawab Dakwah Kaum Salafi" ini merupakan salah satu buku intelektual yang representatif menjawab berbagai permasalahan terkait dengan pemahaman kaum yang menamakan diri "Salafi" itu. Mulai dari soal sunnah dan bid'ah, taklid, maulid Nabi, ziarah ke makam Rasulullah, tawasul, tabarruk hingga mengklaim kedua orangtua Rasulullah saw. sebagai ahli neraka.

Buku yang memuat berbagai bantahan ilmiah dan rasional ini, ditulis langsung oleh Mufti Agung Mesir, Prof. DR. Ali Jum'ah. Dengan demikian, buku ini sangat pantas untuk dibaca dalam rangka menjawab kegelisahan yang meruyak di tengah umat Islam dewasa ini

Buku tersebut bisa didapatkan disini
http://toko-buku-albarokah.blogspot.com/2013/04/menjawab-dakwah-kaum-salafi.html

Minggu, 21 April 2013

Tradisi Islami

Pedoman Keluarga Islami, berminat hub 085735444053

TRADISI ISLAMI, Panduan Prosesi Kelahiran-Perkawinan-Kematian. M. Afnan Hafidh & A. Ma’ruf Asrori, 14,5 x 21 cm. 260 hlm. @ Rp. 37.000,-

Agar tradisi dalam prosesi Kelahiran, Perkawinan, dan Kematian terisi dengan nilai-nilai ibadah, dengan buku ini diharapkan sebagai salah satu pelengkap sebagai nilai plus yang bersifat prinsip, yang didasari beberapa dalil dari al-Qur’an, al-Hadits, dan beberapa doa yang lanyak dipanjatkan.

Selasa, 16 April 2013

Nahdlatul Ulama: Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan

Judul Buku : Nahdlatul Ulama: Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan
Editor : Khamami Zada, A. Fawaid Sjadzili
Penerbit : Kompas, Jakarta
Cetakan : I, Maret 2010
Tebal : xii + 260 Halaman
Peresensi : Abdul Halim Fathani*

NU, merupakan Organisasi massa terbesar -saat ini- di Indonesia, bahkan di dunia. NU, baru saja menggelar Muktamar ke-32 yang berlangsung di Asrama Haji Sudiang Makasar Sulawesi Selatan 22-27 Maret 2010 yang lalu. Banyak persoalan penting yang dibahas dalam muktamar tersebut, seperti meneguhkan kembali jati diri NU melalui pemantapan makna “kembali ke khittah”, pembentukan Pengurus Anak Ranting (PAR), peneguhan identitas Ahlussunah Waljamaah, selain agenda penting –pemilihan rais am dan ketua umum. Di luar itu, juga banyak digelar acara pendukung, seperti seminar, bedah buku, bursa buku, dan sebagainya.

Melalui muktamar inilah, NU berupaya melakukan refleksi dan evaluasi-kritis atas peran dan kontribusi NU dalam konteks sosial-kemasyarakatan, dalam berbangsa dan bernegara. Hal ini telah menunjukkan bahwa NU benar-benar eksis, baik secara kultural-struktural, maupun jamaah-jam’iyyah. Dengan kata lain, ini menjadi modal awal mengantarkan NU untuk selalu berada di garda terdepan dalam rangka mengawal dinamika perubahan yang terus terjadi dalam koridor ahlussunah waljamaah.

Sebagaimana yang disampaikan Mbah Sahal Mahfudh dalam khutbah iftitah di Muktamar ke-32. Bahwa, berdirinya NU, sesuai dengan namanya, adalah momentum kebangkitan para ulama yang seiring dan menyertai kebangkitan seluruh bangsa Indonesia dalam tekad perjuangan untuk mencapai cita-cita kemanusiaannya, yaitu kemerdekaan sejati dan keluhuran martabat lahir dan batin. Sejarah pun mencatat sumbangsih NU yang menjadikannya tak terpisahkan dari NKRI, alam jati diri, jiwa, dan cita-cita. Selanjutnya, Mbah Sahal juga menuturkan, NU menyadari bahwa, dewasa ini dinamika dunia internasional telah menempatkan Islam dalam posisi kritis, dengan maraknya paham keagamaan yang cenderung ekstrem, fundamentakistik, formalistik, dan tidak toleran. Menanggapi fenomena ini, NU bertekad untuk mengambil bagian dalam upaya mengatasi masalah kemanusiaan. NU siap mengambil peran aktif, baik dalam skala nasional maupun internasional.

Sementara, Presiden SBY mengatakan, sebagai organisasi, NU memiliki nilai dasar dan prinsip jati diri yang kukuh, yang mencerminkan setidaknya dua hal. Pertama, sebagai organisasi keumatan yang menganut jalan tengah yang lurus yang dikenal sebagai jalan moderat, yang menolak jalan ekstremitas dan jalan kekerasan. Jalan itu justru menghormati kemerdekaan dan kemajuan, yang menjalin ukhuwah Islamiyah (persatuan Islam) dan ukhuwah wathaniyah (persatuan bangsa) yang menjadikan Islam sebagai rahmat bagi semua alam (rahmatan lil alamin). Kedua, NU adalah organisasi yang terus membangun kemitraan dengan pemerintah untuk menyukseskan program kesejahteraan rakyat, seperti ekonomi kerakyatan; pendidikan, baik pesantren maupun umum; kesehatan masyarakat; gerakan melawan kejahatan, seperti narkoba dan korupsi; dan pemeliharaan lingkungan. (Kompas, 24/3/10)

Buku ini merupakan kumpulan pikiran-pikiran cerdas kaum muda NU, yang mencoba untuk melakukan refleksi dinamika perubahan yang selalu dan terus terjadi dalam perspektif NU dalam rangka mewujudkan kesatuan bangsa yang beradab dan bermoral. Buku yang berisi pelbagai opini yang telah di muat di Kompas dalam kurun waktu 2004-2009 ini dapat menggambarkan betapa gigihnya perjuangan NU dalam rangka membangun keutuhan NKRI. Ternyata, NU sebagai organisasi umat terbesar, telah menjadi bagian penting dari kekuatan masyarakat beradab untuk berkontribusi dalam membangun keadaban bangsa. NU Berhasil membangun keadaban bangsa yang didasarkan pada semangat kebersamaan lintas agama dan keyakinan, begitulah kata Zada-editor buku ini. Kiranya, tekad bulat NU –seperti ini- patut diapresiasi dan terus didukung oleh umat kebanyakan.

Tantangan bagi NU adalah, bagaimana NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia mampu (sekaligus) mau menampilkan karakter Islam ala Indonesia, seperti yang telah dipraktikan oleh para pendiri, sebut saja Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari dan K.H. A. Wahab Hasbullah. Cara berpikir NU untuk mempertahankan tradisi tak lain adalah menjaga warisan leluhur yang telah mengembangkan Islam sambil terus melakukan perubahan yang lebih baik (hlm. 131).

Sejak kelahirannya, Nahdlatul Ulama menjadi pelopor dalam membangun peradaban yang berbasis keislaman sekaligus keindonesiaan. NU senantiasa menjunjung tinggi keberagaman dan toleransi beragama. Dengan prinsip dasar dan jati diri itu, NU terus meningkatkan pengabdian dan perannya dalam membangun bangsa ini. Semua yang dilakukan NU pada masa lalu masih tetap relevan dan tetap diperlukan pada masa sekarang ataupun masa depan. Sebagai organisasi Islam yang berpengaruh, kehadiran NU di Tanah Air bukan saja memberikan pencerahan dan pencerdasan umat, melainkan melampaui perbedaan agama. Masyarakat dibimbing ke dalam kehidupan bermoral, berakhlak, berbudi, dan bermartabat sebab Islam membawa nilai-nilai universal serta menembus batas-batas negara dan peradaban. (Kompas, 24/3/10)

NU kini berada pada suatu zaman yang memerlukan penyikapan matang dan bijaksana. NU berada pada arus perubahan dan informasi yang cepat. Sudah seharusnya warga NU tetap menjaga komitmen untuk memegang kaidah “Almuhaafadhatu ‘alal qadiimish shaalih wal akhdzu bil jadiidil ashlah”.

* Alumnus UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Saat ini aktif di Pusat Pengembangan Sumber Manusia “Fathoni Institute”

Minggu, 14 April 2013

BIOGRAFI 7 RAIS AM PBNU

BIOGRAFI 7 RAIS AM PBNU, 
M. Solahudin, 
Nous Pustaka Utama, 12,5 x 18,5 cm. 208 hlm. 
@ Rp. 30.000,-

Dalam perjalanan sejarahnya, Nahdlatul Ulama telah memiliki 7 orang Rais Am. Rais Am adalah sebutan untuk pimpinan tertinggi organisasi kalangan pesantren ini.

Jika ada orang yang mengatakan bahwa NU adalah pesantren besar atau pesantren adalah NU kecil, maka Rais Am PBNU identik dengan kiai (pimpinan tertinggi di pesantren) dan Ketua Umum PBNU sejajar dengan ketua pondok yang dulu dikenal dengan lurah pondok.

Masyarakat luas lebih mengenal siapa yang menjadi Ketua Umum PBNU, dengan melupakan Rais Am yang ada di belakangnya, padahal, jajaran tanfidziyah –di mana Ketua Umum PBNU di dalamnya- hanya pelaksana dari program-program NU. Para Kiai yang duduk di syuriyah – di mana Rais Am di dalamnya- adalah sebenarnya ‘pemilik ‘ NU. Tujuh Rais Am PBNU itu adalah Hadratusy Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang (dikenal sebagai Rais Akbar), KH. A. Wahab Hasbullah Tambakberas Jombang, KH. Bisri Syansuri Denanyar Jombang, KH. Ali Ma’shum Krapyak Yogyakarta, KH. Achmad Siddiq Jember, KH. Moh. Ilyas Ruhiyat Cipasung Tasikmalaya, dan Dr. KH. MA. Sahal Mahfudh Kajen Pati
 
Silahkan yang berminat, hub: 085735444053